Mengawasi dan mengatur kebun Jati sangatlah menantang, khususnya untuk pemeliharaan
yang harus dilakukan setiap hari. Para pekerja harus menyiangi rumput, memberi pupuk dan
memeriksa kondisi pohon, memangkas cabang, membuat jalan setapak serta mengukur
diameter pohon juga menyingkirkan daun kering di musim panas. Manajer kebun harus
memastikan bahwa semua dilaksanakan dengan teratur. Setelah tahun pertama dan ke-dua
kita bisa melihat hasil pekerjaan itu, pohon Jati tumbuh dengan subur dan bukit kelihatan
lebih hijau.
Kehidupan di desa Cibening terasa seimbang, ketika pohon Jati tumbuh besar, kehidupan di
desa Cibening juga beranjak maju. Sejak Goldteak melaksanakan program Kewajiban
Perusahaan untuk Masyarakat (CSR), bukan saja para pekerja kebun dan keluarganya yang
menerima keuntungan dan manfaat tapi juga masyarakat sekolah. Beberapa pekerja kebun
menanam sayuran dan memelihara ayam, bebek dan kambing. Guru Sekolah Dasar
mengajarkan kepada murid-murid bagaimana menanam sayuran di halaman sekolah ketika
Goldteak memberikan bibit sayuran (terong, bayam dan tomat). Dalam dua
bulan ini, para murid sedang memanen sayuran tersebut. Sayur-sayur itu dijual kepada para
orang tua murid dan hasilnya mereka simpan. Setelah panen selesai, para murid mencoba
sendiri bagaimana menanam bibit sayur itu di halaman sekolah.
Kalau kita perhatikan wajah-wajah para murid beberapa tahun yang lalu, wajah-wajah
mereka saat ini kelihatan lebih gembira. Saat ini mereka banyak mengerjakan kegiatan
disamping kegiatan tetap di sekolah. Mereka juga masih menyisihkan waktu untuk membaca
buku yang diberikan oleh Goldteak, menggambar dan melukis, bertanam sayuran atau
membantu orang tua di rumah memelihara ayam, bebek atau kambing.
Ketika kita membicarakan murid, artinya kita sedang membicarakan murid-murid SD
Cibeureum di desa Cibening. Mulai tahun ini anak-anak yang berumur 6 tahun ke atas boleh
masuk Sekolah Dasar, sebelumnya mereka harus berumur tujuh tahun untuk mulai belajar di
SD. Untuk balita (bayi sampai lima tahun) mereka harus tinggal di rumah dengan ibu mereka
sampai mereka berumur enam atau tujuh tahun untuk dapat masuk SD. Mrid-murid SD yang
sudah menamatkan sekolah bisa melanjutkan pendidikan mereka ke SMP (Sekolah Menengah
pertama) di desa lain karena di desa Cibening belum tersedia pendidikan lanjutan.
Tahun ini anak laki-laki Parid, Amar Ani berusia 17 tahun, dia baru menyelesaikan Sekolah
Dasar. Dia penyandang tuna daksa (tanpa kaki dan tangan) sejak lahir. Tentunya dia
mempertanyakan bagaimana masa depannya, karena teman-temannya yang seumur sudah
menyelesaikan Sekolah Menengah Atas. Kedua orang tuanya serta saudara-saudaranya
memperlakukan dia dengan wajar. Ketika Parid yang memiliki delapan orang anak harus
mengirim Amar ke sekolah khusus tentunya bukan hal yang mudah, karena sekolah untuk anak-
anak difabel tentunya tidak murah, terlebih desa Cibening atau desa lainnya di Sukabumi tidak
ada sekolah khusus untuk anak-anak difabel.
Tetapi walaupun demikian , mereka tidak pernah menyerah untuk memberikan pendidikan
formal. Kalau Amar disekolahkan di sekolah formal maka dia perlu kaki dan tangan palsu untuk
mengikuti semua kegiatan sekolah. Parid memerlukan donatur yang bisa membantu Amar
untuk mendapatkan kaki dan tangan palsu, dia mengirim surat kepada pegawai Petrolink atau
siapa saja yang membaca surat ini mungkin ada yang bersedia membantunya.